Jelajah Sastra #1

21:06


Saya suka puisi, suka sejak masih bersekolah di junior high school (baca: SMP). Saya pikir-pikir lagi sepertinya di usia SMPlah saya mengenal dan jatuh hati pada sastra entah itu puisi atau pun prosa. Kala itu, saya di sekolah mempelajari buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia yang didalamnya berisi banyak potongan puisi dan prosa karya pujangga Indonesia. Ada beberapa nama yang saya kenal sejak dulu Bapak Pujangga ini sangatlah unik dalam menuliskan puisinya yang berpola bentuk tertentu. Ini salah satu karya Bapak Sutardji Calzoum Bachri yang baru saja tiga hari lalu saya baca lagi buku asli terbitan jaman dulu antologi puisi O Amuk Kapak di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, rak buku nomor 899. Niatnya itu kemarin saya kesana mau nyari buku Pak Sapardi Djoko Damono. Di katalog online sih ada tapinya di rak buku saya tak bisa menemukannya. Eh, tapi malah jodohan sama pujangga lainnya, hehee..

Ini harta karun yang berjodoh sama saya kemarin :D



Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

~Sutardji Calzoum Bachri
~Bandung, 30 maret 1973


Paragraf di atas saya kutip dari prakata di buku O Amuk Kapak. Saya suka sama ungkapan mengenai kata bagi pak Calzoum.
Berikut ini, puisi yang saya ingatnya pernah baca di salah satu buku teks pas jaman sekolah dulu. Bermakna dalam dan berbeda dengan puisi jaman sekarang, hehe.

Batu


Batu mawar

Batu langit

Batu duka

Batu rindu

Batu jarum

Batu bisu

Kaukah itu

teka

teki



Yang tak menepati janji?

dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku  mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu? 


Batu risau

Batu pukau

Batu Kau-ku

Batu sepi

Batu ngilu

Batu bisu

Kaukah itu

Teka

Teki

Yang tak menepati janji? 

Be First to Post Comment !
Post a Comment

Hi! Thanks for reading! Please give your comment here..

Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya