Saya suka puisi, suka sejak masih bersekolah di junior high
school (baca: SMP). Saya pikir-pikir lagi sepertinya di usia SMPlah saya
mengenal dan jatuh hati pada sastra entah itu puisi atau pun prosa. Kala itu,
saya di sekolah mempelajari buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia yang
didalamnya berisi banyak potongan puisi dan prosa karya pujangga Indonesia. Ada
beberapa nama yang saya kenal sejak dulu Bapak Pujangga ini sangatlah unik
dalam menuliskan puisinya yang berpola bentuk tertentu. Ini salah satu karya
Bapak Sutardji Calzoum Bachri yang baru saja tiga hari lalu saya baca lagi buku
asli terbitan jaman dulu antologi puisi O Amuk Kapak di Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, rak buku nomor 899. Niatnya itu kemarin saya kesana mau
nyari buku Pak Sapardi Djoko Damono. Di katalog online sih ada tapinya di rak
buku saya tak bisa menemukannya. Eh, tapi malah jodohan sama pujangga lainnya,
hehee..
Ini harta karun yang berjodoh sama saya kemarin :D |
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
~Sutardji Calzoum Bachri
~Bandung, 30 maret 1973
Paragraf di atas saya kutip dari prakata di buku O Amuk
Kapak. Saya suka sama ungkapan mengenai kata bagi pak Calzoum.
Berikut ini, puisi yang saya ingatnya pernah baca di salah
satu buku teks pas jaman sekolah dulu. Bermakna dalam dan berbeda dengan puisi
jaman sekarang, hehe.
Batu
Batu mawar
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu jarum
Batu bisu
Kaukah itu
teka
teki
Yang tak menepati janji?
dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin
tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa gunung harus
meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak
sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu?
Batu risau
Batu pukau
Batu Kau-ku
Batu sepi
Batu ngilu
Batu bisu
Kaukah itu
Teka
Teki
Yang tak menepati janji?
Be First to Post Comment !
Post a Comment
Hi! Thanks for reading! Please give your comment here..
Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya