Sejak saya ingin mengurangi sampah apalagi yang tidak bisa diurai, sudah muncul niat untuk mengganti pembalut sekali pakai dengan menstrual cup (Mens Cup). Hanya saja, saya masih ragu karena dulu awal-awalnya mens cup dijual itu masih dikisaran Rp300.000 dan saya belum menemukan yang harganya di bawah itu dan memang kualitasnya medical grade. Jadilah saya batal beralih ke mens cup.

Walaupun sudah banyak testimoni dari beberapa kenalan tentang mens cup, tahun 2023 ini masih ragu juga, karena memikirkan nanti ribet gak ya? Sakit gak ya? Wkwk… terus sempat juga mikir apa pakai pembalut kain aja ya, tapi yah mikirin lagi mencucinya hahaha.. lebih malas lagi.

Sampai di bulan September ini, saya iseng cari menstrual cup di marketplace. Eh, ternyata harga sudah bervariasi dan sudah banyak produk yang lebih murah dari 300ribu. Akhirnya, saya pilih beberapa produk yang testimoni dan ratingnya oke, saya tandain lalu konsultasi ke penjualnya. Alhamdulillah, para penjual ini begitu ramah menjawab pertanyaan saya tentang ukuran mens cup yang sesuai kondisi saya.



Setelah memikirkan yang mana untuk dibeli, akhirnya saya memilih dulu harga yang lebih murah sekitar 50ribuan untuk nyoba nih, apakah cocok, nanti kalau oke mungkin akan coba merk lain yang harganya lebih atas. Benar-benar prinsip ekonomi yahh.. haha..

Tibalah hari mens cup datang dan besoknya bertepatan dengan jadwal mens saya. Sebelum itu, tentu saja saya menonton berbagai tutorial memakai mens cup dulu. Setelah yakin, dengan nafas dalam dan sesuai petunjuk mulailah saya memakai mens cup. Awalnya saya kira akan sulit, eh tenyata semudah itu lhooo.. Seharusnya saya inget kalau sedang mens itu kan memang saluran vagina lebih membuka untuk mengeluarkan darah. Lah, ini mah gak sesulit yang di-overthingking-kan. Memang mesti beranikan diri dulu, mentalnya disiapin aja ternyata.


Cara Memakai Mens Cup

Pilihan lipatan untuk memasukkan mens cup


Secara anatomi normal, lubang vagina saat mens sudah didesain untuk membuka lebih lebar. Jadi, saat memasukkan mens cup tidak perlu khawatir menyangkut atau sulit, cukul rileks aja, tenang. Slup masuk deh mens cupnya. Nah, karena posisi belum pas atau salah ukuran, sebab saya beli ukuran S, di hari pertama banyak bocor darahnya. Saya konsul ke penjual katanya bisa jadi memang tidak pas ukurannya, atau masih menyesuaikan karena pertama kali. Akhirnya, pas malam saya pakai juga pembalut daripada tahu-tahu bocor gitu sekasur kan bisa repot.

Alhamdulillah, di hari-hari berikutnya tidak ada bocor yang begitu banyak seperti hari pertama. Saya pun sudah semakin terlatih memperkirakan waktu membuang darah mens yang sudah ditampung dalam mens cup. Saya merasa lebih nyaman karena tidak ada ganjalan seperti pembalut mens biasa. Saya pun lebih mudah memprediksi apakah darah mens sudah selesai dan bersih semua. 

Saya juga jadi mempertimbangkan untuk mencoba ukuran L atau M produk lainnya agar merasa lebih nyaman dan tidak ada bocor lagi. Senang rasanya cukup bisa mengurangi sampah residu di bumi. Duh kenapa enggak dari dulu sih? hahaa... Setelah sekian lama baru tergerak pakai mens cup. Saya tidak bermaksud untuk mempromokan mens cup tetapi mungkin bagi teman-teman bisa yang masih ragu dan ingin mempertimbangkan mengurangi sampah, mens cup ini salah satu caranya. Semoga niat baik kita menjadi catatan kebaikan untuk bumi dan lingkungan. 







Photo by Neslihan Gunaydin on Unsplash

Sejak 2022 lalu saya mulai mempelajari teknik pengelolaan sampah organik dengan cara mengompos. Saya menemukan ada banyak cara yang bisa digunakan untuk membuat kompos dari sisa-sisa bahan makanan rumah tangga. Sebelumnya saya sempat khawatir, kalau mengompos bisa menimbulkan bau yang tidak enak. Hanya saja memang perlu niat yang kuat untuk memulai dan konsisten. 


Sejak lama saya memikirkan bagaimana caranya agar sampah ini setidaknya tidak menganggu bumi? Saya tahu sampah organik bisa jadi kompos tapi belum pernah mencoba membuatnya sendiri, haha.. begitulah kira-kira keraguan yang selalu timbul. Akhirnya, di 2022 lalu saya mulai mengompos, sisa makanan dengan sistem komposter terbuka yang menggunakan oksigen untuk proses pembusukannya. 


Saya membuat starter komposter dulu dengan mencampur tanah, pupuk kandang, sisa daun kering dan sisa buah-buahan yang manis lalu dicampurkan dengan air bekas cucian beras yang sebelumnya sudah didiamkan dua malam. Tempatkan starter ini di wadah yang memiliki lubang cukup dan tutup bagian atas selama tiga hari. Setelah tiga hari starter bisa dipakai untuk menerima sampah organik di rumah.


Mengompos aerobik yang benar itu sungguh tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Malahan komposter saya beraroma jeruk, karena kemarin memasukkan sisa kulit jeruk. Selain itu, komposter juga terasa hangat dan ada titik-titik uap air. Saya tidak punya lahan tanah terbuka di rumah, saya hanya pakai karung bekas untuk mengompos dan ember yang sudah dilubangi. 


Ujian mengompos

Memang disarankan untuk punya lebih dari satu komposter, tapi saat itu saya mulai merasa lelah. Daun-daun kering harusnya digunting lebih kecil sebelum masuk komposter tidak saya gunting dan memasukkannya begitu saja. Akhirnya ya, komposternya lama dipanen dan merasa sudahlah tidak lagi lanjut mengompos sisa organik. Oh iya, untuk sisa hewani seperti tulang ikan, ayam, dan lainnya masuk ke biopori yang di dalam tanah. Saya tidak membuat biopori, jadi masih dibuang ke TPS sampah di RT. 


Saya tidak lanjut mengompos sampai akhirnya di tahun 2023 ada kebakaran TPA sampah di Bandung. Sampah-sampah rumah tangga tidak diproses ke TPA karena tidak bisa menerima sampah. Di TPS pun mulai tampak penumpukan sampah dan berbau tidak enak. Hal inilah membuat saya kembali ke jalan yang benar untuk mengompos sampah di rumah. 


Pendidikan Pengelolaan Sampah

Memang tahu saja tidak cukup, sejak usia SD saya tahu bahwa sampah itu harus dipisahkan dan harusnya yang organik bisa dikembalikan lagi ke tanah tempat asalnya tumbuh. Namun, pengetahuan ini tidak otomatis menjadi perilaku. Saya yakin banyak sebenarnya orang yang mau mengompos, mengelola sampahnya dengan baik, hanya saja tidak berani memulai dan merasa sendirian dan tentu saja kebanyakan overthinking, kayak saya haha! Padahal jika kebiasaan ini sudah mulai dan dibentuk dari kecil takkan sulit bagi kita memilah sampah saat dewasa.


Photo by Nareeta Martin on Unsplash

Seorang teman yang pernah tinggal di negara yang lebih baik mengelola sampahnya bercerita, sejak anak-anak pendidikan pengelolaan sampah itu sudah dimulai. Memilah sampah dan mengelolanya pun seperti menjadi sebuah kompetensi hidup hingga setiap warga sudah dibiasakan memilah sampah. Namun, bagi kita yang di Indonesia walaupun ada tiga jenis tempat sampah di taman lansia Bandung, itu isi ketiganya tetap juga tercampur semua. 


Saya berharap nantinya akan ada kebijakan ketat dari pemerintah yang akan membuat pengelolaan sampah lebih baik. Perbanyak bank-bank sampah di level kecil dan besar, perusahaan sebagai produsen juga menerima kembali sampah produknya untuk dikelola lagi serta bisa berubahnya botol kosong bekas minuman jadi uang. Ini dari teman saya yang cerita kalau ada mesin ATM khusus untuk menukarkan botol bekas jadi uang. Siapapun yang punya botol bekas, bisa dapat uang. Seru banget kayaknya, jadi orang akan berpikir botol itu bukan sampah tapi alat tukar jadi uang!


Jadi, apakah saya akan konsisten mengompos? Semoga, saya juga berharap begitu, semoga ini menjadi jalan kebaikan kecil untuk kehidupan di bumi dan untuk masa depan anak-anak kita. Yuk, mulai mengompos sampah! 



Saya tidak ingat bagaimana saya bisa menyukai buku. Orangtua saya tidak menyediakan buku bacaan di rumah, tetapi saya ternyata senang ke toko buku dan melihat — membaca buku-buku di sana. Saya suka membaca buku pelajaran kakak saya yang sudah SMP ketika saya masih SD. Saya berbinar-binar melihat betapa banyaknya buku di toko buku dan begitu gembiranya saya ada beberapa buku yang tidak dibungkus sehingga saya bisa menumpang membaca di sana. Itulah masa kecil saya yang agak berbeda dengan anak lain yang memiliki akses lebih dini pada buku bacaan. 

Photo by Ishaq Robin on Unsplash

Saya pun pernah ke pameran buku, melihat jajaran buku-buku dalam rak-rak tinggi, memandangi berbagai judul buku cerita, membuka dan membaca sebagian isinya. Lalu, membelinya? Tentu tidak, saya menaruhnya kembali karena tidak memiliki uang yang cukup untuk memborong semua buku yang saya suka. Saat di SMP dan SMA saya lumayan mendapat akses buku dari teman-teman saya yang memilikinya karena mereka dibelikan buku oleh orangtuanya. Jadilah, saya meminjam semua seri Harry Potter, berbagai judul teenlit dan beberapa buku nonfiksi, saya ingat betul, pernah pinjam buku 100 tokoh berpengaruh di dunia saat SMP. Alhamdulillah, circle pergaulan saya membawa saya semakin cinta membaca buku. Lalu, di SMA pun dapat kelas yang sepuluh langkah saja letaknya dari perpustakaan! Tentu saja saya lebih rajin ke perpus daripada kantin, wkwk.. aneka majalah sains, ensiklopedia dan novel terjemahan saya ambil di sana. Ternyata inilah yang menjadikan saya membaca buku hingga sekarang.


Memang saya tidak dibesarkan dengan keluarga yang sangat menjunjung tinggi budaya membaca tetapi saya tumbuh dan belajar di lingkungan yang membaca. Benarlah bahwa pembaca itu bukan dilahirkan melainkan dibuat, tak ada orang lahir akan suka membaca tetapi ketika ia tumbuh dan hidup bersama yang menyukai buku dan membaca, ia bisa menjadi pembaca juga.


Di hari buku nasional tanggal 17 Mei 2023 ini saya hanya ingin merefleksikan diri sebagai pembaca dan orangtua yang membaca. Bagaimana kita ingin anak-anak cinta membaca jika kita sendiri tidak mencintai membaca buku? Amat buruk jika kita komando anak-anak agar membaca buku, kita sediakan buku-buku sejak usia bayi, lalu kita sendiri tidak membaca. Perkara membaca literasi bukan hanya sekedar ada buku, dibaca sudah selesai dan berlalu begitu saja.

Yona Primadesi dalam esainya, Bukan Sekedar Baca Tulis, menjelaskan dua acuan praktik literasi di seluruh dunia, yaitu Deklarasi Praha dan UNESCO. Literasi dalam Deklarasi Praha dirumuskan menjadi literasi informasi (information literacy) yang meliputi:
  • Literasi dasar (basic literacy);
  • Kemampuan meneliti dengan menggunakan referensi (library literacy);
  • Kemampuan untuk menggunakan media informasi (media literacy);
  • Literasi teknologi (technology literacy);
  • Kemampuan mengapresiasi grafis dan teks visual (visual literacy).
Sedangkan UNESCO mendefinisikannya lebih universal, literasi adalah proses pembelajaran seumur hidup, lebih dari sekedar membaca, menulis dan berhitung. Literasi bermakna praktik dan hubungan sosial terkait pengetahuan, bahasa dan budaya.

Saya sendiri baru mengerti hal ini setelah membaca esai tersebut beberapa hari kemarin. Bahwa memang gerakan literasi kita seharusnya bukan hanya mengajak orang untuk gemar membaca dan bebas buta aksara dan mengonsumsi buku bacaan yang selalu memenuhi rak toko-toko buku melainkan mendidik diri menjadi manusia pembelajar seumur hidup yang berdaya nalar dan mampu mengenal dan mengelola informasi. Ini menjadi pekerjaan rumah yang mungkin masih cukup jauh dari kata selesai. Saya pun kembali memikirkan proses literasi di rumah kami yang telah berjalan ini sepertinya belum masuk kriteria sesuai definisi UNESCO.


Agaknya terasa berat ya tugas meningkatkan kemampuan literasi ini? Benar, terlebih di kondisi masyarakat yang dominan berpendapat, ngapain sih baca buku? Hahaa.. Melihat orang membaca buku di tempat umum adalah suatu keganjilan bagi penduduk negeri ini. Belum lagi didukung oleh harga buku baru yang cenderung mengikuti inflasi ekonomi sehingga sebagian keluarga yang anggarannya terbatas memilih untuk tidak membeli buku. Hal ini memang menjadikan buku belum masuk daftar prioritas belanja keluarga.


Di hari buku nasional ini, harapan saya adalah semua pihak yang berperan meningkatkan kompetensi literasi mendefinisikan lagi apa itu masyarakat yang literat? Apakah sekedar beli buku; baca buku lalu tinggalkan buku dalam rak? Atau menjadikan mereka membaca; mengkaji isinya; memberikan pemberdayaan dan menghasilkan karya yang kembali lagi dapat meningkatkan nalar kritis atas informasi?


Mungkin para penerbit perlu memangkas ongkos produksi dan penyelenggara negara bisa mengambil celah dengan memberi subsidi. Hasilnya diharapkan harga buku dapat lebih terjangkau lagi dan akan memperluas distribusinya ke semua tempat. Belajar dari Korea Selatan yang ternyata saya tahu kenapa begitu banyak buku-buku Korea diterjemahkan sekarang ini. Itu semua termasuk bagian dari upaya pemerintahnya yang membuat pusat budaya literasi agar karya warganya dapat diterjemahkan dan disebarluaskan di seluruh dunia.

Saya mengutip sebuah artikel di media internasional tahun 2016, bahwa sekarang ini pemerintah Korea bukan hanya mendukung anak muda untuk membaca buku tetapi juga untuk orang di luar Korea untuk membaca karya mereka. Negara yang berambisi memiliki pemenang nobel literasi ini begitu semangat memberikan dana untuk penerjemahan sebab syarat menjadi pemenang nobel literasi adalah karya yang bisa dibaca panitianya. 

Memang agak sulit dan terlalu jauh kalau jadi pemenang nobel literasi ya, tetapi tidak apa-apa masyarakat pasti dukung negerinya kalau punya visi yang sama, buktinya Korea Selatan. Karya pengarang asal Korea sudah mendapat penghargaan Man Booker Prize dan ALMA Awards. Ini menjadi bukti bahwa upaya membuat literasi bukan sekedar baca, tetapi membaca bacaan yang bagus sehingga bisa menghasilkan karya yang diakui dunia.  


Jadi, marilah kita semangat lagi meningkatkan kompetensi literasi masyarakat Indonesia di hari Buku Nasional 2023. Semoga buku mudah diakses siapapun dan bolehlah coba penerbit buku berkumpul bersama dan membuat cetakan versi e-reader agar bisa dijangkau pembaca bahasa Indonesia di seluruh dunia, ahaha (curcol seorang yang tak bisa baca buku terbitan Indonesia di e-reader). Ini hanya sekedar curahan hati pribadi yang kok rasa-rasanya jadi semacam esai! Wkwk... 
Memangnya, anak HS dapat imunisasi juga?

Lah, kenapa enggak? Kan tetap masuk haknya di usia sekolah dapat imunisasi kayak anak-anak sekolah biasa



Mungkin sebagian keluarga homeschooler yang lebih dulu praktik sudah lebih paham kondisi anak-anak HS. Bagi yang baru seperti kami memang harus aktif cari informasi sana-sini tentang imunisasi usia sekolah. Saya juga baru ingat pas kelas satu SD itu dapat imunisasi di sekolah dan dapat surat yang warna kuning terus dibawa pulang untuk ditandatangani orang tua. Jadilah, saya bertanya-tanya bagaimana ya supaya anak HS bisa vaksin juga dengan gratis karena masuk program pemerintah.




Jelang akhir tahun, di bulan November 2021 kami sudah menjalani homeschooling tingkat setara sekolah dasar selama enam bulan dan sudah terdaftar di PKBM. Saya pun tanya dengan teman-teman se-PKBM, berdasarkan pengalamannya bisa datang langsung ke puskesmas terdekat, bilang aja mau vaksin anak sekolah. Selain itu, ada juga teman lain yang mengatakan vaksin anak-anaknya sendiri di poli dokter spesialis dengan biaya sendiri tentunya.


Alhamdulillah saya ada teman yang bekerja di puskesmas jadi bisa langsung tanya perihal vaksin anak sekolah yang homeschooling. Ternyata memang masuk dalam cakupan program vaksinasi wajib dari pemerintah.

vaksin anak homeschooling
Jadwal Imunisasi anak SD

Tahun 2021, saya masih tinggal di Depok, jadi saya segera mengkonfirmasi puskesmas terdekat. Alhamdulillah, sejak covid jadi ada kontak WA puskesmas yang bisa ditanya tentang imunisasi. Katanya puskesmas nanti mulai imunisasi anak sekolah di bulan Desember dan bisa datang langsung cukup bawa kartu identitas anak.

Akhirnya, kami datang ke puskesmas, mendaftar untuk imunisasi anak sekolah. Setelah di ruangan vaksin, petugas kesehatan bertanya kelas berapa, sekolahnya dimana? Saya jelaskan anak kelas satu SD dan homeschooling. Petugas langsung oke dan menjelaskan vaksin yang akan disuntikkan itu dua kali, di tangan kanan dan kiri. Setelah selesai, petugas memberikan kartu imunisasi dan menuliskan vaksin yang diberikan sesuai usia anak saya.

Kartu Imunisasi si Kaka


Kartu Imunisasi


Alhamdulillah, semudah itu pengalaman kami imunisasi untuk anak HS. Jadi, mungkin bagi teman-teman HS lain yang anaknya masuk usia imunisasi boleh dicek dulu ke puskesmas di tempat tinggal. Ada kenalan lain, yang juga mau vaksin anaknya malah di ‘pingpong’ katanya harus ke PKBM terdaftar dan seperti dipersulit.

Saya penasaran tentang peraturan imunisasi ini, apakah memang anak HS tidak bisa imunisasi? Akhirnya, saya cari di google tentang peraturan imunisasi anak sekolah dan keluarlah peraturan dari website Kemendikbud. Bisa diunduh sendiri di sini. Ternyata memang imunisasi ini diperuntukkan bagi anak usia sekolah di pendidikan formal maupun bagi anak usia sekolah di pendidikan non-formal atau dari peraturan itu tidak bersekolah. Semuanya berhak dapat imunisasi sesuai usia dan gratis dari pemerintah.
imunisasi anak SD
Imunisasi untuk semua anak

Tahun 2022 saya pindah ke Bandung dan sudah siap-siap untuk cari info imunisasi anak SD kelas dua. Bulan November 2022, saya coba mengontak puskesmas terdekat dulu, menanyakan untuk imunisasi anak sekolah, kelas 2. Petugas pun mempersilakan saya untuk datang di hari khusus vaksin anak, cukup membawa kartu identitas anak.

Kami datang ke puskesmas di Bandung, mendaftarkan diri untuk imunisasi anak dan mengantre untuk dipanggil petugas. Saat di dalam, mungkin karena sudah hampir lewat waktunya, petugas menanyakan ke saya, “Kok baru sekarang? Kemarin kemana gak di sekolah?” 

Saya jawab saja sambil senyum, “Iya, ini homeschooling bu”. Petugasnya bertanya kelas berapa dan menyiapkan vaksin. Saya diminta menulis data anak di lembaran yang sudah hampir penuh dengan nama anak sekelas. Saya juga tidak diberikan catatan vaksinasi di kartu imunisasi yang saya sudah perlihatkan.

Memang perlu modal berani karena sebagai orangtua homeschooler kita sendiri yang menjadi advokat bagi kebutuhan anak ya. Berbeda dengan sekolah yang normalnya apa-apa akan diinfokan dari pihak sekolah atau guru. Oleh sebab itu, jadilah proaktif mencari info-info untuk kebutuhan kesehatan anak-anak kita sendiri. Jika teman-teman ada yang mungkin kesulitan imunisasi, mungkin saat datang ke puskesmas bisa menunjukkan peraturan imunisasi dari kemendikbud di atas. InsyaAllah, semuanya valid dan kita bisa meminta imunisasi untuk anak-anak Homeschooler.