Nyeri alias lebih dikenal dengan rasa sakit mesti setiap manusia hidup pernah merasakannya. Bohong dan abnormal jika tidak mengakuinya. Kelahiran manusia di dunia pun disebabkan nyeri hebat saat rahim ibu berkontraksi. Ya, nyeri telah menyertai kita sejak kita terlahir ke dunia. 

Saya ingin sedikit bercerita tentang rasa sakit, nyeri. Baik rasa sakit yang terasa di fisik ataupun di jiwa kita. Dalam mata kuliah kebutuhan dasar manusia yang dulu saya pelajari saat kuliah, nyeri masuk satu bab sendiri dalam buku teks. Wew, betapa berpengaruhnya nyeri dalam hidup manusia ternyata yah. Memang benar adanya, nyeri menjadi sinyal bahwa ada yang kurang beres dengan tubuh kita, misalnya kita merasa sakit perut, kemungkinan di saluran pencernaan kita ada sesuatu yang membuat sakit dan itu menjadi sinyal bagi kita untuk mencari pertolongan agar nyeri yang terasa bisa hilang. Pun sama halnya ketika kita mengalami sesuatu hal yang menyakitkan hati, mematahkan hati, nyeri diterima oleh reseptor nyeri diproses oleh pusat nyeri di thalamus *sumpah saya review lagi faal nyeri loh! :p* lalu disebar ke korteks untuk diinterpretasi, ada juga yang ke sistem limbik (pusat emosi) yang bikin kita menangis saat merasa sakit. 

Pernahkah terbayang mengapa kita menangis saat merasa sakit? Ya karena itu semua diputuskan oleh si sistem limbik, saya kutip dari web medical “feelings are associated with every sensation you encounter and each feelings generates a response”. Well, perasaan berhubungan dengan setiap sensasi yang kamu hadapi dan setiap perasaaan menghasilkan respon, ah membaca ini malah sedikit memaknainya dengan berbeda #salahfokus ah, sudahlah. Jadi ya, di otak kita sudah ada perpustakaan nyeri, isinya semua nyeri yang pernah kita rasakan sejak kita menjadi manusia. Nanti tinggal dipilah-pilih yang mana yang cocok lalu respon apa yang keluar untuk memaknai rasa nyeri ini.

Tetiba saya berpikir, kenapa Allah berikan manusia saraf sensorik nyeri sih? Nyeri itu sakit dan gak enak, kenapa dikasih kenapa kita tidak dibiarkan saja “numb”, tak mampu merasa nyeri, kebal? Lagi-lagi ini sebenernya ya curhat saya juga sih yang rasa-rasanya kok lebih sering merasa “sakit” daripada “tidak sakit”?? saya gak suka sakit sebab ia sering membuat air mata tertetes. Seketika juga saya langsung terpikir akan nyeri fisik seperti patah tulang terbuka di tubuh, kulit yang terbakar panas. Seperti apakah jika kita tak mampu merasakan nyeri dari patah tulang ataupun luka bakar itu? Tentu saya sudah punya jawabannya, pertahanan hidup manusia ya.. terbayangkah jika kita terkena panas api lalu kita diam saja tak menghindari penyebab luka bakar itu? Terus menerus seperti membiarkan tubuh terluka, maka tentulah akan membahayakan nyawa kita *sudah tak perlu jelasin patoflow luka bakar juga kali shiv, haha* dan lagi patah tulang yang membuat pembuluh darah terkoyak, menyebabkan kehilangan cairan juga bahaya bagi nyawa kita. Nah, itulah yang membuat adanya rasa nyeri, saraf sensorik nyeri dan juga pusat nyeri di otak. Agar manusia menyayangi hidupnya lebih baik, menjaga dirinya lebih aman dan ya itu mekanisme pertahanan hidup alami yang akhirnya membentuk perilaku melindungi diri. Hebat kan hanya perkara nyeri saja loh ini, sesuatu yang tak terlalu dipikirkan banyak orang. 

Baiklah, itu penjelasan mengenai nyeri.. ya, nyeri di jiwa maupun di fisik. Ini hanya cerita untuk refleksi pribadi saya saja sih, perkara “nyeri di hati”. Nyeri yang kadang tak bisa dimengerti, tak mampu terjelaskan oleh teori apapun, nyeri yang antara nyata dan maya, nyeri yang lebih sering menstimulasi lakrimalis bekerja lebih sibuk dari biasanya, nyeri yang membuat inflamasi mata karena kerja lakrimalis, oh oh,, sudah sudah sekian saja ungkapan hati saya. Well, semoga memberi pemahaman baru akan nyeri yang kita semua sudah simpan dalam “perpustakaan nyeri pribadi”. 


Lagi-lagi kau selalu mengingatkanku pada masa kecilku. Tersadar diriku ini sudah bukanlah anak-anak.  Tahukah kau hujan, engkaulah yang selalu menerbitkan senyumanku di kala kau turun, dengan gerimis atau derasmu. Aku tak peduli meskipun kau membawakan genangan air di lubang-lubang jalan. Percikan akibat roda-roda kendaraan. Sungguh, aku tetap menyukaimu terlepas apapun efek yang kau bawakan ke bumi ini.

Kau tahu hujan, kemarin kita bertemu di ketika aku dalam perjalanan menuju rumah. Jarak dari jalan raya ke rumahku sekitar setengah kilometer. Di bawah naungan payung aku berjalan menikmati bertatap denganmu lamat-lamat. Di sepanjang jalan aku lihat, para ayah dan ibu menjemput anak-anak mereka sepulang sekolah, tentunya di bawah payung mereka merapat. Aku ingat ketika masih bersekolah di SD pun ibu atau kakakku terkadang menjemputku ke sekolah karena hujan dan aku tak membawa payung. Manis sekali bukan? Aku berpegang erat pada mereka,berusaha menghindari basah airmu.

Lagi, aku melihat sekelompok bocah lelaki basah kuyup. Mereka mandi hujan, ya begitu aku menyebutnya. Mereka bermain-main, membiarkanmu membasahi kepala mereka. Mereka tak marah, justru tersenyum dan tertawa bahagia bermain denganmu. Mereka menjejak di genangan air yang kecoklatan, saling memercikkan airmu kepada temannya. Ah, sungguh aku bagai melihat cermin masa laluku sekarang . Dahulu pun kita sudah dekat bukan hujan? Aku ingat betul, aku bermain hujan-hujanan,berlarian, melompat-lompat, berbasah-basahan di tengah tanah lapang dekat rumah. Menenggelamkan kaki di tengah genangan airmu di bumi. Berteriak-teriak tidak jelas seperti “oooo… aaaa…. Hujaaan horeee..” bersorak kegirangan ketika ibu membolehkanku bermain di luar rumah ketika kau turun. Tertawa-tawa penasaran membuka mulut lebar-lebar sebab ingin merasai seperti apa meminum langsung airmu yang turun dari langit. Ah, bahagia betul rasanya kala kecilku.
Namun kini, tak bisa lagi aku bermain di bawah hujan tanpa berlindung dengan payung. Tak bisa lagi aku berlari-larian di tengah tanah lapang sambil berteriak “horeee.. hujaaan…!!lalu membiarkan airmu membasahi seluruh kepala dan pakaianku. Ah, ingin rasanya kini aku tetap bisa bermain hujan, mandi di bawah disiramanmu, wahai air langit. Melompat-lompat kegirangan, teriak sambil tetap berusaha merasai airmu dengan juluran lidahku, hahaaha.. konyol benar keinginanku ini. Padahal sudah sebesar ini tubuhku, tetap saja jika bertemu kau hujan selalu terbit perasaan rindu akan aku yang masih kecil.

Kau perlu tahu hujan, kelak jika aku sudah memiliki pendamping hidup yang halal maka akan kuceritakan semua hal mengenai engkau padanya. Tentang bagaimana aku selalu menyukaimu. Harapan-harapan akan bisa bermandi hujan kembali, bermain di kala kau turun. Biar saja ia nanti tertawa mengetahui tingkahku yang bagai anak kecil ini, tak apa. Sebab akan kuajak dia merasakan kebahagiaanku semasa anak-anak, akan kuajak dia berteriak dan melompat-lompat ketika kau turun tanpa perlindungan payung. Lalu, kami pun kembali dekat dengan engkau hujan.
Hei,

Lama tak berjumpa denganmu pelangi

Tahu tidak pertemuan kita sore ini, membuat rinduku padamu lunas sudah, ehehe

Aku paham betul sulit sungguh menemuimu, kau tak selalu berada di langit, tapi kau sungguhnya pun selalu di sana tak kemana-mana

Kau hanya memerlukan hujan dan sinar mentari

Dan kali ini, sore ini di hari ini

Tepat setelah hujan selesai bertugas turun ke bumi

Lalu mentari pun bersiap beranjak undur diri di kaki barat

Seberkas sinar mentari mengenai titik-titik uapmu

Hingga terlihatlah kau pelangi

Kau di langit timur sore hari

Melengkung indah, berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu

Ah, indaah sungguh..

Kamu membuatku meleleh

Tuhan, ciptaanMu yang satu ini penuh warna, indah sempurna

Pelangi

Kapan kau bertamu kembali di langit biru?

Kau pun tak punya jawabnya

Tapi di sudut imajiku, di pojok harapan hatiku ini

Kelak kita bisa bertemu kembali setelah aku bertemu dengan belahan jiwaku

Lalu, kami akan bersama mengagumi kau sang pelangi, ciptaan Tuhan

Goresan kuas berwarna milik Sang Pencipta





Pelangi tertangkap dari balkon kamar :)



Judul Buku: Sang Pemimpi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Juli 2006
Tebal: 292 halaman


Siapa yang pernah bermimpi dalam tidur? Jawabannya tentu semua orang pernah bermimpi dalam tidurnya. Ya, mimpi yang katanya hanya bunga dalam tidur, ibarat penghias tidur kita. Lantas, izinkan saya menemukan makna dari kata mimpi terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mimpi sebagai kata benda bermakna sesuatu yang dilihat dalam tidur, sedangkan sebagai kata kiasan bermakna angan-angan. Jika bentuk kata mimpi berimbuhan me-kan, maka makna kiasannya adalah mencita-citakan sesuatu yang sulit atau tidak mungkin dicapai. Saya rasa memang makna kiasan dari mimpi inilah yang paling tepat menggambarkan karya Andrea Hirata yang berjudul Sang Pemimpi.
 

Mengisahkan tentang petualangan masa remaja Ikal dan dua orang sahabatnya, Arai juga Jimbron. Novel ini merupakan buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi yang sebelumnya pun telah diekranisasi. Jika dalam Laskar Pelangi kita bertemu dengan tokoh anak-anak SD maka dalam Sang Pemimpi kita akan bertemu Ikal remaja yang tengah bersekolah di SMA. Lantas, siapakah diantara para tokoh dalam novel ini yang sebenarnya dibicarakan sebagai sang pemimpi? Tidak , bukan hanya seorang pemimpi tetapi pejuang mimpi-mimpinya. “Sejak itu, aku mengenal bagian paling menarik dari Arai, yaitu ia mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahan yang hanya biasa orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka Arai adalah seorang pemimpi yang sesugguhnya, seorang pemimpi sejati.” (hal. 51-52)
 

Itulah Arai di mata Ikal, seorang pemimpi sejati. Memangnya siapa sih Arai ini? Sehebat apakah dia hingga mampu disebut sebagai sang pemimpi? Di bab awal, Ikal sebagai tokoh utama “aku” menceritakan karakter fisik, psikis dan asal usul keluarga Arai dengan mendetail. “Gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong” (hal. 24). Arai si Simpai Keramat menjadi abang dan sahabat baru bagi Ikal sejak ia tinggal di rumah orang tua Ikal. Jadi, dimulailah hari-hari Ikal dan Arai yang penuh petualangan ala pemimpi.

Berbeda dengan pendidikan di kota pada umumnya, di Belitong Timur yang menjadi latar tempat ini baru memiliki sebuah SMA Negeri. Ibarat pernyataan pahlawan Nasional Kartini, habis gelap terbitlah terang maka sekolah tersebut menjadi cahaya harapan orang para agar anaknya dapat mengenyam pendidikan lebih baik dari mereka. Begitu pun para murid yang haus akan ilmu dengan bangga bersekolah di SMA Negeri itu. Di sekolah ini pula dikenal seorang guru berakhlak terpuji yang biasa dipanggil Pak Balia. Guru kesusastraan inilah yang menanamkan benih bercita-cita tinggi pada muridnya. Bayangkan saja, betapa hebat efek ucapannya hingga membuat Ikal, Arai dan Jimbron dengan semangat tinggi bermimpi sekolah ke Sorbonne, menjejak di negeri menara Eiffel, dan keliling Eropa.


Quote:“Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamter terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak Sartre, Louis Pasteur, Mostequieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra dan seni hingga mengubah peradaban…” (hal. 73).


Sebenarnya saya pun menjadi bertanya-tanya dalam kepala setelah membaca pernyataan pak Balia ini. Apakah benar semua orang-orang itu bersekolah di Sorbonne? Well, saya kenal beberapa nama Louis Pasteur microbiologist, Montesquieu sang filsuf serta Voltaire sang sastrawan dan ya ketiganya dari Prancis tapi memang ketiga orang yang ini terkenal dengan karyanya yang mendunia dan sumbangan besar terhadap kemajuan peradaban manusia. Oke, simpulan hasil riset saya yakni, mereka orang hebat yang berasal dari Prancis dan ya wajarlah jika Hirata membuat mereka sebagai contoh nyata orang yang berprestasi di kancah ilmu pengetahuan.


Tidak hanya menyuguhkan kisah tentang impian tetapi juga bercerita mengenai gejolak jiwa remaja yang dialami Ikal, Arai dan Jimbron. Pengalaman indah saat bertemu sang pujaan hati, berusaha mati-matian menarik perhatian gadis yang dicinta tertuang dan menyatu dengan baik di tiap paragraf. Transisi perkembangan jiwa dari usia anak menjadi remaja pun tergambar baik dari adegan-adegan pembangkangan remaja segala kebandelannya. Saya akui penulis berhasil menciptakan karakter remaja yang sangat jujur, sebagaimana adanya realita hidup remaja.


“Itulah kekuatan cinta, itulah kekuatan jiwa seorang laki-laki bernama Arai, sungguh mengharukan. Dua bulan telah berlalu, Arai tak juga menunjukkan kemajuan.”
“Tinggal sebulan waktuku, Kal,” katanya padaku sambil memeluk gitarnya. “14 September ulang tahun Nurmala, aku sudah harus bisa membawakan lagu itu!”
(hal. 202).


Novel yang menyandang penghargaan National Best Seller ini sudah naik cetak berulang kali dengan beberapa versi sampul berbeda hingga tahun 2012 dan di tahun 2009 Miles Film dan Mizan Production membuat versi layar lebarnya. Sang pemimpi versi film dirilis tahun 2009 dan disutradarai oleh Riri Riza. Demi menjaga keaslian tokoh utama dalam novel, casting pun dilakukan untuk menemukan pemuda Melayu asli Belitung yang sesuai dan mampu berakting sebagai Ikal, Arai dan Jimbron versi remaja. Sedangkan versi dewasa Ikal diperankan oleh Lukman Sardi dan Arai oleh Ariel ‘Noah’. Dalam Sang Pemimpi ayah dan ibu pun masih diperankan Mathias Muchus dan Rieke Diah Pitaloka, yang membuat berbeda mungkin beberapa tokoh baru yang belum ada di Laskar Pelangi seperti Pak Balia diperankan oleh Nugie dan Zakiah Nurmala oleh Maudy Ayunda. Sang Pemimpi pun sukses menjadi film Indonesia terlaris kedua pada tahun 2009.


Alur yang dipakai dalam film sedikit berbeda dengan novel. Jika dalam film kita menemukan Ikal dewasa yang baru saja selesai kuliah menceritakan kembali masa lalu remajanya maka dalam novel sejak awal bab kita mendengarkan Ikal bercerita tentang dirinya dan orang-orang disekitarnya sejak sekolah SMA hingga merantau ke pulau seberang. Menurut saya, kedua perbedaan ini tidak menjadi masalah sebab kita akan tetap menikmati sudut pandang orang pertama baik di film maupun di novel. Sudut pandang ‘Aku’ yang kadang pun menjadi ‘Kami’ mampu diolah oleh penulis sedemikian indahnya sehingga saya seperti membaca kisah ini dari sudut pandang orang ketiga. Inilah kelebihan Hirata dalam karyanya, ia mampu menjadi yang ‘Aku’ yang serba tahu.

Quote:Aku dipanggil Pak Mustar. Dengan gaya orang Melayu tulen aku disemprotnya habis-habisan, “Hanya tinggal satu semester lagi tamat SMA, memalukan!! Memalukan bujan buatan!!”
“Keterlaluan!! Orang sepertimu patut dibuat sekandang dengan Malin Kundang. Itulah orang sepertimu, kalau kau ingin tahu!! Sangkamu kau siapa?? Phytagoras apa? Di SMA ketat ini kau pikir bisa menjaga kursimu dengan belajar sekehendak hatimu!!??
Suaranya berat penuh sesal. Ia memang garang tapi semua orang tahu bahwa sesungguhnya ia penuh perhatian, hanya saja caranya yang keras. (hal. 147-148)

 

Berbicara mengenai konflik, maka kita dengan mudah menemukan konflik dalam kisah ini. Bermula dari konflik kecil interpersonal antara Ikal, Arai dan Jimbron hingga konflik intrapersonal yang menjadi pemicu pergesekan ‘Aku’ dengan beberapa tokoh lain. Konflik klimaks yang dialami ‘Aku’ sebegitu hebatnya hingga otak dan jiwa saya pun mencelos, ya sangat ‘Jleb’ di hati. Deskripsi konflik yang detail dan diksi penulis membuat saya cukup emosional. Tidak berlebihan menurut saya, penulis memilih konflik yang manusiawi, sangat paham bahwa manusia pun pernah mengalami masalah yang sama dan secara tidak langsung memberikan pelajaran how to deal with it.


Setiap potongan cerita mengandung nasihat dan pesan moral yang sangat baik. Penulis memang pintar memberikan pesan bagi pembaca melalui untaian kalimat yang memberikan semangat untuk bercita-cita setinggi angkasa, mengetuk pintu hati bahwa masih ada jalan di setiap kesulitan. Terasa manis memang tetapi bagi saya membaca kisah ini membuat saya belajar bersyukur juga kembali menemukan potongan mozaik semangat yang telah tercecer.

Secara keseluruhan novel ini memang kisah remaja yang dekat dengan realita. Akan tetapi, Bentang Pustaka mengkategorikannya sebagai novel dewasa yang menurut saya novel ini sudah layak baca oleh pembaca usia remaja tengah (pelajar SMP-SMA). Novel Sang Pemimpi, di tiap frasanya tertata apik pelajaran bagi semua anak yang mencintai keluarga dan gurunya di sekolah dan tentu membuat kita mensyukuri tiap pemberian Tuhan.


“…Pahamkah engkau, berhenti bercita-cita adalah tragedy terbesar dalam hidup manusia!!”

“Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati….”

“Aku masih seekor pungguk buta dan mimpi-mimpi itu masih rembulan, namun sebenderang rembulan dini hari , mimpi-mimpi itu masih bercahaya di dalam dadaku”

“Oughh, integritas dan loyalitas! What can I expect more from a man?”



Empat dari lima bintang untuk kisah yang mengugah rasa, asa, cita dan cinta.
Untukmu sang Lelaki (yang masih) imajiner
Untukmu yang (belum boleh dan belum bisa) kusebut namanya dalam doa.
Untukmu yang selalu ada di tiap harap dan doa
Mungkinkah akan mengenaliku, belahan satu jiwamu yang lain?
Ahaha, terdengar konyol tetapi ya begitulah adanya

Katanya kita sudah disatukan dulu di masa sebelum kau dan aku lahir ke dunia ini
Ah, benarkah?
Beramai-ramai kini wanita dan lelaki berburu “seseorang” mereka
Sebagian pikir dia yang saat ini yang terbaik, aku harus mengusahakannya
Terlalu lumrah lah membangun hubungan selain daripada menikah itu, menurutku loh ya
Makanya aku si anti-mainstream tak turut serta dengan pemikiran mereka-mereka
Tak perlulah mendahului ketentuan Allah
Just keep calm and pray to Allah
Di sini aku, perlu kau ketahui sedang belajar untuk mempersiapkan
Belajar menjadi calon teman hidup yang baik hingga kita benar bertemu
Belajar menjadi calon ibu dari anak-anakmu nanti, mempersiapkan diri mendidik amanah Allah dunia akhirat

Kelak setelah bertemu kau pun, kita harus tetap belajar
Belajar menjadi teman hidup dan orang tua yang baik untuk anak-anak kita
Hanya Allah dan langit yang tahu apa isi rasa hati ini
Haha, terdengar konyol tetapi ah aku tak bisa mengungkapnya kepada siapapun
Kan, pintaku kau pun mempersiapkan segalanya sebaik-baiknya
Semoga semua yang diawali dengan yang baik, akan barakah hingga akhir waktu 

~120312~



Sejatinya kita tak sungguh benar-benar berpisah karena kau selalu dihatiku. Kau pasti tidak tahu ini, bukan? Mengenalmu adalah hadiah termanis dari Tuhan untukku. Terlalu banyak kau buat hari-hariku yang biasa membosankan menjadi begitu berharga di tiap detiknya. 

Kala itu kau hanya seorang yang baru kukenal. Kau tahu apa yang membuatku penasaran?  Sifatmu yang kekanak-kanakan, ya itulah dirimu yang aneh. Aku yang merasa lebih tua dan seharusnya lebih dewasa darimu berhasil kembali ke sifat anak-anak setiap kali bersamamu. 

Kau dengan pesona kekanak-kanakanmu tetapi tidak sok imut atau bahkan sok centil seperti jebakan bagiku. Kau tahu bahwa aku terjebak? Ya, aku terjebak kekanak-kanakanmu yang elegan sehingga aku pun hampir merasa mengalami regresi kedewasaan. Haha.

 Aku merasa menjadi lebih muda lima tahun dari umurku sebenarnya yang telah memasuki 30-an. Usiamu pun tak jauh dariku, hanya selang empat tahun lebih muda. Tetapi mengapa setiap kita bersama aku selalu merasakan usiaku dan kau sama di usia 24 tahun? Apakah kau punya kekuatan untuk mengatur dimensi waktu setiap kau berbicara? Ataukah waktu menjalankan tugasnya dengan memundurkan masa kini?

Kau, sungguh membuatku terjebak dalam obrolan ringan gaya anak-anakmu. Aku heran padamu yang selau saja bertingkah aneh hingga berhasil membuatku menyunggingkan senyum bahkan tawa lepas. Kau tahu aku ini dingin, pasti kau tau tahu, jarang orang lain memergokiku tertawa. Akan tetapi, kau ya kaulah yang menjuarai sistem saraf otonomku sampai-sampai aku tak mampu lagi mengendalikan tawaku.



Saat bertemu kau, rasanya aku macam jadi bocah yang menemukan potongan puzzle yang selama ini kucari. Tidak, aku tidak berbunga-bunga layaknya orang yang jatuh cinta, eh loh, mengapa jadi membahas jatuh cinta? Oh, sudah lupakan itu. Kau, dengan hangatmu sungguh sukses membuatku nyaman. Seperti hangatnya mentari di pagi hari, membawa berkas cahaya yang menerobos di tiap relung jiwaku.

Ah, tidak, ada apa ini? Mengapa aku menjadi puitis? Padahal belum pernah aku tercemar oleh bahasa yang puitis. Lantas, darimana datangnya kosakata-kosakata puitis itu? Kau, ya, aku sangat yakin kau yang menginfeksi diriku, pikiranku hingga menjadi puitis seperti ini. Tetapi, aku hanya berani berpuitis sendirian dan aku lebih suka begitu, tak diketahui orang lain. Apa jadinya jika yang lain tahu bahwa aku berbahasa puitis, mengeluarkan kalimat-kalimat indah? Ah, sungguh aku tidak cukup percaya diri dan lebih baik aku menyimpan ini sendiri saja dulu. 

Kau tahu kini duniaku terasa lebih berwarna karena kau. Pasti kau tak tahu itu sebab aku tak mampu menyatakannya secara langsung. Aku tidak cukup berani dan yah aku hanya ingin menikmati setiap bentuk keindahan kala bersamamu tanpa kau perlu tahu apa warna hatiku kini. Layaknya pelangi, kau menjadi pelengkap diantara indahnya tujuh dispersi cahaya putih itu. Ah, apa ini? Bahasaku jadi seperti ini, aneh sungguh. Aku belajar memahami di tiap waktu pertemuan kita, kebersamaan kita, celotehan ringan darimu yang ya semua itu merupakan hal baru di waktuku. Biarkan aku memahami sedikit lebih baik makna kau bagiku. Sedikit waktu untuk menguatkan sebuah keyakinan bahwa memang kau yang mampu mengisi relung jiwa. 

Tuhan tahu betul rasa hatiku ini, ya kan Tuhan? Aku hanya ingin mempelajari, memahami tiap rasa hati yang Kau titipkan. Meski mungkin tak banyak waktu yang ada. Tetapi, aku belajar membuat kesempatan di tiap waktunya, sebuah kesempatan untuk bertanggung jawab atas rasa. Oh, sudahlah ini semua. Aku rasa cukup berbahasa puitisnya, hahaa. Kuharap kau tak perlu tahu bahwa ya, aku secara resmi telah menjadi pengagum rahasiamu, gadis.