Showing posts with label home education. Show all posts
Showing posts with label home education. Show all posts
Sejak menjadi orang tua saya jadi lebih peduli tentang buku anak-anak. Ini karena saya harus memilihkan buku yang menjadi bahan bacaan puteri saya. Dulu tahun 2015, pas anak saya masih bayi, sempat hits sepaket buku balita yang sangat digaungkan untuk dimiliki semua orang tua yang punya bayi. Tujuannya untuk memperkenalkan anak dengan buku. Tetapi saya tidak punya, tidak beli dan tidak pernah membacakannya untuk anak saya. Saya sempat terpikir untuk membelinya namun, maju mundur cantik akhirnya batal, mungkin karena dulu belum ada dananya dan uang sebesar itu dialihkan ke sumber daya lain kan ya. Lantas, apakah anak saya jadi tidak senang membaca buku? Tidak juga kok, kan saya mengenalkan dengan buku lain, yang berisi cerita dan bergambar warna warni.

Photo by Ben White on Unsplash
 
Saya pun mulai mencari lagi buku cerita lain, ada juga yang dikasih sama teman, beli buku bekas, pesan buku baru sampai datang ke bazar buku yang fenomenal itu di Serpong, wkwk…Buku anak sekarang bermacam-macam variasinya. Bagus-bagus, jauh lebih bagus daripada saat saya kecil dulu. Mulailah pencarian di awal-awal karena belum mengerti tentang penjenjangan buku, saya cuma tahu balita bisa dibacain buku cerita bergambar, isinya berapa kata, berapa kalimat saya tidak tahu itu ada aturannya, haha… Semakin ke sini, pemerintah mengatur jenis-jenis buku anak berdasarkan penjenjangan. Bisa dibaca di sini.

Perjenjangan Buku 
 
Kini anak saya makin gede, terus udah lancar baca sendiri, saya ingat dia bisa baca lancar saat umur 5 tahun dan dia mau baca sendiri bukunya. Wih, ya makin bingung anak sudah bisa baca, dikasih apalagi ya? Sampai akhirnya dia masuk usia sekolah, saya beranikan untuk mencoba buku cerita panjang alias novel anak, terus anaknya betah dan suka, ya masa dilarang? Hayuklah, diteruskan aja, akhirnya makin bikin mikir keras bahwa buku-buku buat seumurannya itu sedikit sekali dan kebanyakan untuk usia SD tinggi. Lah, iya, umur 7-9 tahun itu ga bisa dibacakan buku cerita yang kalimatnya pendek tapi gak ada cerita panjang yang pas juga. Wew…

Jadi, sebenarnya anak saya tidak melalui proses baca buku sesuai aturang penjenjangan itu yahh.. ini karena murni ketidaktahuan saya sendiri, tetapi karena itulah dia mulai terbiasa membaca cerita panjang dan bisa menangkap cerita dengan baik. Khawatir? IYALAH, BACANYA CEPET BANGET! Buku 100 halaman selesai seharian, lah… bingung kan? Sempat juga baca buku online di web penyedia buku gratis yang ceritanya bagus-bagus dan ilustrasinya juga keren. Sampai pada suatu titik dia bosan dan tidak terlalu minat lagi untuk membaca di web itu.

Suatu hari kami menemukan komik edukasi terjemahan Korea Selatan dan memang komik yang kebanyakan gambar tapi ada ilmunya. Menurut saya sih bagus, maka mulailah anak saya senang baca komik edukasi itu dan memang banyak juga tulisan penjelasan berbagai hal terkait isi cerita, gapapa yang penting baca daripada lapar bacaan.

Saya masih terus membolehkan anak baca komik edukasi sampai sekarang, hanya temanya mulai saya beranikan yang lebih serius seperti biografi tokoh-tokoh. Mulai bisa diajak diskusi tentang masa hidup seseorang kenapa bisa sampai bisa berkarya sebesar itu. Saya pun mesti membuatnya tertarik buat ganti tema buku ini. Meskipun awalnya dia tidak terlalu berminat tapi berkat trik khusus akhirnya dia mau juga, gimana caranya? Kita ortunya nih, yang mesti duluan menunjukkan minat dulu mau baca buku itu juga.

Beberapa pekan lalu, saya menemukan buku dongeng yang dikarang oleh keturunan Cina Amerika yang menurut saya sangat bagus. Buku novel ini bertema dongeng lampau dari Cina, tebalnya sekitar 250-an halaman dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Saya ingin anak saya membaca buku yang keren ini, tetapi dia mulai merasa malas membaca buku tebal yang penuh kata-kata panjang. Wah, padahal itu juga ada ilustrasinya satu halaman dalam satu bab. Apakah saya membiarkannya tidak mau membaca? Tentu saja mulailah bergerilya membuatnya membaca bacaan panjang lagi. Kebetulan kami sedang meminjam komik biografi Isaac Newton dan Jose Mujica dari perpustakaan kota dan pas banget kedua orang ini digambarkan senang membaca buku. Newton yang membaca buku terus dan Mujica yang ketika di penjara pun sedih karena tidak bisa membaca lagi. Saya mulai susupi pikiran anak saya dengan “ini orang-orang besar bisa menjadi seperti ini karena mereka membaca buku lho, apa saja dibaca”.

Membaca buku apapun pasti bagus buat kita, apalagi ada diskusi-diskusi kritis tentang isinya.

Alhamdulillah, besoknya anak saya coba membaca buku dongeng itu dan berhasil, dia hampir tidak mau berhenti membacanya sampai selesai. Lalu, kami pun diskusi sedikit tentang isinya, bagaimana perjalanan tokoh-tokohnya yang ajaib dan seru. Ini menyenangkan banget bagi saya! Saya sadar juga anak itu ingin teman membaca dan kitalah temannya yang pertama untuk membaca. Membaca bukan yang cuma membaca, membaca yang juga memicu daya kritis anak.

Saya menyadari juga ada masa-masa semangat dan turunnya anak-anak dalam membaca buku. Maka tugasnya orang tua yang bisa mengenali masa-masa itu dan membuat siasat agar anak tetap senang dan suka membaca buku yang memang bagus ceritanya. Selamat mencari buku-buku bagus dan memilihkannya untuk anak-anak kita!







Sebelumnya saya hanya pernah sayup-sayup mendengar tentang homeschooling. Dulu itu berlaku bagi anak-anak yang jadi artis di usia sekolah karena waktunya terbagi antara pekerjaan dan belajar. Eh, ternyata bukan begitu konsepnya! Suami saya sudah mendengungkan ide ini sejak anak kami berusia satu-dua tahun gitu, saya yang anak sekolah negeri tulen agak heran juga dengan konsep ini, lha ya coba gimana gitu gak sekolah dan ambil ujian persamaan paket pendidikan, yakin nih?

Saya pun mulai cari tahu konsep pendidikan bernama homeschooling (HS). Saya ikuti webinar dari pasangan suami istri yang full homeschooling ketiga anaknya. Banyak yang saya tanyakan, diskusikan dan akhirnya membuat pikiran saya lebih terbuka mengenai konsep ini. Selain itu, saya juga diperlihatkan dan bertemu keluarga lainnya yang juga menerapkan HS. Lalu, saya terpukau wkwkw…

Photo by Taylor Heery on Unsplash


Anak saya sudah memasuki usia 2 tahun lebih, saya bertemu metode belajar anak yang menyenangkan dan berlanjut dengan kesepakatan bahwa konsep ini bisa diterapkan pada anak. Saya pun mempelajarinya dan membuat sendiri beberapa alat belajar (aparatus) di rumah berbekal sumber dari blog dan website di internet. Saya hampir mau lanjut kuliah sertifikasinya lho, dulu sih biayanya puluhan juta setahun, hahaha gak tahu deh kalau sekarang berapa. Lalu, saya diskusi ke teman yang sudah kuliah duluan dan menurutnya jika buat di rumah sih tak perlu-perlu banget ambil kuliah diploma. 



Akhirnya, saat anak memasuki usia 4 tahun lebih saya makin intens mengajarkannya membaca, menulis dan hal penting terkait iman dan ibadah. Alhamdulillah, anak saya dimudahkan belajar membaca melalui fonik dan bisa membaca lancar di umur 4 tahun lebih. Pas tahun 2020, masuk 5 tahun masih nyari sekolah gitu, terus Covid, jadi berpikir ulang tentang rencana sekolah formal dan sepertinya tidak bisa berharap banyak pada sekolah formal. Akhirnya, kami memutuskan tidak menyekolahkannya ke TK dan belajar di rumah saja.


Saat itu saya juga belum mendaftarkan anak ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) karena masih mencari yang cocok. Jadi, masuk SD kelas 1 nanti sudah sekalian daftar PKBM. Eh, jadi niat HS nih? Iya, karena kami saat itu harusnya pindah ke Bandung karena suami saya melanjutkan sekolah juga. Setelah itu, belum tahu pasti akan tinggal dimana, terus kalau pindah sekolah dan nyari-nyari lagi sepertinya melelahkan juga. Selain itu, saya merasa dengan homeschooling bisa lebih fleksibel memilih metode belajar untuk anak yang ternyata ada banyak banget, haha.


PKBM itu banyak ya dan memang ada yang khusus bagi anak-anak tidak bisa sekolah formal terkendala biaya dan kemampuan, ada juga yang sangat mendukung HS karena biasanya yang bikin orang tua yang pengalaman HS untuk anak-anaknya. Saya sempat cari-cari tahu di beberapa tempat termasuk cara belajar, kurikulum yang saklek atau fleksibel dan juga biaya pendidikannya termasuk uang tahunan, SPP dan biaya lain-lain. Alhamdulillah, setelah muter-muter ke sana sini, kami bisa menemukan tempat yang saat ini insya Allah baik sebagai rekan kami untuk HS. Tempat yang nyaman dan sangat mendukung atmosfer untuk cinta ilmu dan belajar.

Keputusan HS tidak bisa dadakan, perlu pertimbangan yang matang dan hendaknya bukan jadi bentuk kekecewaan kita pada pendidikan formal yang pernah kita jalani dulu, misalnya karena dulu di sekolah umum begini, begitu, dan pernah banyak dapat “luka” akhirnya memutuskan HS. 

Justru berangkatlah HS bukan karena kekecewaan atau luka dan perasaan negatif dari pengalaman melainkan kita inginkan cara baru dan metode yang bisa menyesuaikan dan disesuaikan dengan kondisi anak & orang tua untuk mendukung pendidikan. Belajar bisa di mana saja, tidak mesti berangkat sekolah, baik formal dan non-formal semuanya sama-sama punya kebaikan dan tentu kekurangan. 

Photo by sofatutor on Unsplash


Mari ambil yang baik dan sesuaikan dengan kondisi tiap keluarga. Saya tidak sugar coating HS itu paling enak, justru emang paling ribet wkwk… haha begitulah rasanya. Mesti mau belajar dan tumbuh bersama anak, open mind dan growth mindset jadi modal besar orang tua yang memutuskan HS.