Judul Buku: Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)
Penulis: Marah Rusli
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun Terbit: terbitan pertama tahun 1922
Tebal: 292 halaman        

ISBN: 9789794071670 (cetakan ke-45)

Siapakah tak kenal kisah kasih Sitti Nurbaya dengan Samsulbahri? Padahal kisah ini lebih tua dari umur orang tua saya, bahkan berusia hampir seratus tahun. Ya, inilah kehebatan dan keajaiban sastra tertulis. Ia tak lekang oleh waktu, tak tergerus putaran zaman. Boleh dikatakan ketika memilih buku ini untuk SRC bulan sastra saya sempat galau, antara Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk dengan kisah kasih ini. Tetapi pilihan jatuh kepada karya Pak Marah Rusli, kisah abadi sepanjang masa. Kisah yang hanya saya dengar dari mulut-ke mulut, kisah yang di-repackage dalam sinetron di televisi. Tetapi belum pernah saya ketahui keasliannya. Inilah yang membuat kekepoan saya meningkat lantas tertantang membaca dan menemukan buku ini.

Zaman sekarang orang hanya tahu kalau Nurbaya dijodohkan dengan Datuk Meringgih. Padahal ia hanya cinta pada kekasihnya Samsulbahri. Tetapi apakah benar bahwa Nurbaya dijodohkan dengan sang Datuk? Saya rasa karena sudah berumurnya cerita ini banyak yang mispersepsi dengan maksud dari dijodohkan. Saya sendiri sebelum membaca kisah ini pun berpikir bahwa Nurbaya dipaksa menikah (dijodohkan) dengan Datuk Maringgih oleh orangtuanya. Tetapi berbeda cerita dalam novel ternyata, Nurbaya tidaklah dipaksa oleh ayahnya. Lantas apa yang terjadi sebenarnya?

Samsulbahri biasa dipanggil Samsu/Sam sudah berteman dengan Sitti Nurbaya (Nurbaya/Nur) sejak kecil. Keduanya pun tumbuh menjadi remaja bersama sebagai teman bermain dan belajar. Tanpa disadari di hati keduanya telah tumbuh tunas cinta. Sam berasal dari keluarga terpandang ayahnya Sutan Mahmud seorang Pejabat Daerah/ kepala suku (dalam novel disebut Penghulu). Penampilan fisik Samsulbahri secara fisik dideskripsikan seorang lelaki yang tampan, tubuhnya ideal dan terlihat bahwa ia adalah anak orang terpandang dan berperilaku baik. Begitu juga dengan Sitti Nurbaya merupakan anak saudagar sukses dan kaya, Baginda Sulaiman. Ia memiliki paras yang cantik, penampilan menarik dan tutur kata yang santun. Nurbaya ini dapat dikatakan sebagai kembangnya Kampung Padang kala itu.

“Barangsiapa memandangnya, tak dapat tiada akan merasa tertarik oleh suatu tali rahasia yang mengikat hati; dan jika mendengar suaranya terlalailah dari pada suatu pekerjaan. Sekalian orang bersangka, anak ini kelak, jika telah sampai umurnya, niscaya akan menjadi sekuntum bunga, kembang kota Padang yang semerbak baunya sampai kemana-mana,...” (hal. 4)

Satu lagi tokoh utama yang terkenal dengan perilaku buruknya, Datuk Meringgih. Sang Datuk ini memiliki kekayaan yang sangat banyak hingga ia pun terkenal di kalangan masyarakat sebagai “orang tajir”. Akan tetapi, kekayaan yang berlimpah itu berbanding terbalik dengan kemurahan hatinya. Dialah seorang yang pelit, tak suka memberi dan tamak. Setiap orang yang dipinjaminya uang mesti mengganti lebih dari pinjamannya maka Datuk Meringgih ini merupakan seorang rentenir kelas kakap. Tak hanya itu, umurnya pun sudah lebih dari setengah abad, penampilan fisik pun tak terlalu baik tetapi wibawa dan pengaruhnya mampu membuat orang-orang takut dan tak ada yang berani melawan keserakahannya.

Kembali ke kisah kasih Sam dan Nur, sebagaimana akhirnya seorang laki-laki jantan, Sam pun berani mengakui perasaannya pada Nurbaya di malam sebelum keberangkatannya ke Jawa untuk melanjutkan sekolah.

“Oleh sebab untung manusia tak dapat ditentukan , itulah sebabnya sangat ingin hatiku hendak mengetahui, bagiaimanakah hatimu kepadaku? Atau hanya aku sendirilah yang rindu seorang?”
“Sudikah engkau kelak menjadi istriku, apabila aku telah berpangkat dokter?”
“Masakan tak sudi,” sahut Nurbaya perlahan-lahan, sebagai takut mengeluarkan perkataan ini. (adegan di hal. 74)

Itu saksiku, Nur,” kata Samsu seraya menunjuk bulan dan bintang yang di atas langit, “tiadalah aku akan mencintai perempuan lain, melainkan engkau seorang. (hal. 77)

Singkatnya, Nur dan Sam mengikat janji cinta mereka malam itu. Bahwa Sam bermaksud menikah dengan Nur setelah sekolahnya selesai di Jawa dan selama itu pula jarak Padang-Jakarta menjadi pemisah keduanya. Hanya surat dari Sam kepada Nur dan juga sebaliknya menjadi pengobat rindu mereka.
Setelah dibaca oleh Nurbaya surat itu, lalu diciumnya dan diletakkan ke atas dadanya, ke tempat jantungnya yang berdebar.. (hal. 112)

Setelah menerima surat dari Sam yang memberikan kebahagiaan bagi Nurbaya tak lama kemudian datanglah berita bahwa toko ayahnya telah terbakar, habis semua tak tersisa. Akhirnya, ayah Nurbaya meminjam uang kepada Datuk Meringgih untuk menutupi hutang akibat kebakaran toko. Sayangnya, bisnis Baginda Sulaiman di lokasi lain pun tak membawa untung justru makin banyak merugi hingga pada waktu hutangnya jatuh tempo Datuk Meringgih datang untuk menagih.
 “…apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang ayahku dan ayahku akan dimasukannya ke dalam penjara. Hanya bila aku diberikan kepadanya, raksasa buas ini..” (Nurbaya kepada Sam dalam suratnya hal.121) “… jika engkau sudi menjadi isteri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara dan tentulah tiada terjual rumah dan tanah kita ini..” (Baginda Sulaiman kepada Nurbaya hal. 122) “… tidakkah cukup untuk pembayar hutang itu, kalau sekalian barang hamba dijual dengan rumah ini dan tanah ayah? Karena hamba lebih suka miskin daripada jadi isteri Datuk Meringgih” ( hal. 123) “Tak dapat kubayar hutang itu dan anakku tak dapat pula kuberikan kepadamu” (Baginda Sulaiman kepada Datuk Meringgih hal 124) "Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui keluarlah aku, lalu berteriak: “Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi isteri Datuk Meringgih!” (Surat Nurbaya kepada Sam hal 124)

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, Nurbaya terpaksa menjadi isteri Datuk Meringgih demi melunasi hutang ayahnya. Sam pun sangat membenci Datuk Meringgih sampai berniat untuk membalas kejahatan yang dilakukan Sang Datuk pada Nurbaya dan ayahnya. Kejatuhan bisnis Baginda Sulaiman dan perkara hutang-piutang ternyata merupakan konspirasi Datuk Meringgih dengan anak buanhnya. Secara sengaja direncanakan semua kejadian ini agar Nurbaya “Sang Kembang” dapat menjadi istrinya. Semakin banggalah Datuk Meringgih mampu melebarkan sayap kekuasaannya. Tersisalah dua orang yang sama-sama patah hati karena cinta yang tak tersampaikan, Sam dan Nurbaya.



***

Cerita ini lebih tua dari usia saya, ya benar adanya. Kisah ini diterbitkan pertama kali tahun 1922 oleh penerbit Balai Pustaka yang kala itu masih milik dari pemerintahan Hindia-Belanda. Bayangkan, Indonesia masih di bawah jajahan Belanda dan sudah ada anak negeri ini yang berkarya melalui sastra! Bagi saya karya sastra yang telah masuk kategori klasik ini merupakan satu hal yang membanggakan.

Marah Rusli keturunan asli Minang membuat tanah kelahirannya sebagai seting tempat cerita cinta ini. Masyarakat Sumatera Barat menerapkan matrilineal sebagai adat budaya mereka. Sistem matrilineal merupakan sistem dimana pihak wanitalah yang menjadi pewaris harta dan garis kekerabatan keluarga. Hal inilah yang membuat kaum Hawa istimewa karena berperan sebagai penentu keberhasilan keputusan yang dibuat kaum lelaki sebab posisi mereka sebagai mamak. Oleh sebab itu, cerita ini pun kental dengan kultur matrilineal sehingga cukup memperkaya wawasan pembaca yang penasaran dengan budaya Minang.

Pada halaman pertama, saya sempat sedikit “bengong” sebab alur penceritaan yang berbeda dari novel umumnya. Kisah ini diceritakan bukan dari sudut pandang orang ketiga melainkan penulis sebagai narrator. Belum pernah saya membaca seperti ini sebelumnya namun ini menjadi hal baru yang cukup menarik untuk dibahas. Penulis sebagai narrator menceritakan tentang tokoh-tokohnya sekaligus turut menjelaskan alur yang terkait dengan para tokoh.

“Demikianlah, Datuk Meringgih, saudagar yang termashyur kaya di Padang itu. Ia kaya dan beringin hendak bertambah kaya itulah, artinya karena hendak mempunyai harta.”Hai Datuk Meringgih! Apakah faedahnya kekayaan yang sedemikian bagimu dan bagi sesamamu? (hal. 88)

Terasa agak janggal saat membaca cerita dengan tambahan tokoh sang narrator tetapi alur cerita tetap konsisten membawa perjalanan tiap tokoh secara mendetail inilah kelebihannya menurut saya. Hal yang menjadi kekurangan menurut saya adanya campur tangan sang narrator ini membuat para tokoh seakan bebas dan sesuka hati dikomentari olehnya. Dengan kata lain, penulis sebagai narrator memiliki kekuatan untuk menyampaikan isi pikirannya kepada pembaca sehingga pesan dari tokoh langsung menjadi agak blur.

Alur maju yang dipilih penulis mampu membawa saya terhanyut selama membaca novel ini. Alur maju membuat cerita semakin menarik dengan beberapa “kejutan-kejutan” yang tak terpikirkan oleh pembaca. Menurut saya, pemilihan alur maju dan penempatan “kejutan” dalam cerita ini cukup menutupi kekurangan lain dalam novel ini. Satu hal yang paling penting, disebabkan terbit di masa Belanda maka Anda akan menemukan bahasa Indonesia yang belum sesuai ejaan yang disempurnakan baik dari tata bahasa maupun kosakata. Akan tetapi, inilah menurut saya keindahan dari harmoni sastra klasik, ia menjadi saksi dari sejarah perkembangan sastra itu sendiri dan ia menjadi abadi meskipun puluhan tahun terlewati. Jadi, bersiaplah bertualang dengan mesin waktu ketika membaca novel ini.

Lantas, apakah hanya cinta yang menjadi konflik utama dalam novel ini? Sayangnya tidak hanya itu, anda pun dapat menemukan konflik interpersonal di setiap tokoh. Namun, memang cinta tak tersampaikan menjadi konflik utama yang juga memicu konflik lainnya. Dapatkah anda bayangkan, kala itu anak-anak perempuan diharuskan menikah di usia awal remaja sekitar 13-15 tahun? Ini juga membuat Nurbaya “galau” sendiri ketika membayangkan harus menunggu Sam tujuh tahun lamanya hingga mereka menikah. Terlebih lagi dengan adanya hubungan jarak jauh yang mereka jalani sejak Sam sekolah di Jawa. Tentulah hubungan jarak jauh zaman dulu berbeda dengan saat sekarang yang sudah canggih. Tanpa telepon, internet dan medial sosial Nurbaya dan Sam menjalin hubungan mereka melalui surat yang dikirim lewat pos. Surat ditulis sangat panjang hingga beberapa halaman dalam novel terasa agak aneh bagi saya membaca curahan hati sedemikian panjang tetapi ini relevan untuk seting waktu di tahun 1896 (tahun yang tertulis di surat Sam kepada Nurbaya).

Budaya poligami bagi lelaki di Minang saat itu masih dijunjung tinggi oleh masyarakat juga turut menjadi konflik. Ayah Sam yang menganut monogami berbeda pendapat dengan adik perempuannya yang justru menginginkan abangnya memperturutkan poligami yang telah membudaya di Minang. Pandangan mengenai poligami juga detail diceritakan penulis melalui tokoh Ahmad Maulana, paman dari Nurbaya. Paman Nurbaya hanya beristri seorang saja namun istrinya masih merasa monogami merupakan hal yang tidak beradat (sekali lagi, poligami-lah yang dikatakan beradat kala itu). Sebagai lelaki yang memiliki nilai sendiri, Ahmad Maulana pun membuka diskusi dengan istrinya mengenai kekurangan dari adat poligami.
 “…makin banyak istri makin banyak belanja; sebab tiap-tiap istri itu harus dibelanjai dengan secukupnya. Bila kurang belanja, tentu saja kurang senang hati istri-istri itu. Dengan demikian, mudah timbul perselisihan; dan bila selalu berbantah saja, dengan tiap-tiap istri yang banyak itu, tentulah kehidupan kurang senang.” (hal. 208)

Dan masih panjang lagi alasan rasional yang menguatkan akan “lebih baik beristri satu” yang dipaparkan penulis melalui tokoh paman Nurbaya ini. Termasuk juga salah satu ungkapannya bahwa wanita boleh sama pintarnya dengan lelaki agar tak hanya menjadi budak.

“Itulah sebabnya tak baik anak perempuan disekolahkan” kata Fatimah“Supaya tinggal bodoh dan selama-lamanya menjadi budak laki-laki, bukan? Boleh diperbuat sekehendak hati; sebagai kerbau diberi bertali hidungnya…. Jika engkau sendiri sebagai seorang perempuan, suka bangsamu diperbuat sedemikian, suka hatimulah! Tetapi kalau aku menjadi perempuan, sekali-kali aku tak mau menerima peraturan ini.” (dialog dalam hal. 213)


Diskusi yang didengar oleh Nurbaya dan sepupunya Alimah pun menambah keyakinan mereka akan hak-hak wanita yang seharusnya sama dengan laki-laki. Mereka pun berdiskusi sendiri membahas “peran gender” dalam adat dan budaya yang dirasakan selama ini kurang adil bagi wanita. Menurut saya, dalam bagian ini penulis berusaha memberikan pandangan mengenai adat dan mengkritisi peran gender dari kaca mata budaya Minang. Sangat jelas Marah Rusli terkesan kurang menyukai sistem adat (matrilineal, ninik-mamak, poligami) dan peran gender yang berbeda jauh antara budaya tradisional Minang dengan budaya Barat. Hal ini mungkin dipengaruh dari pengalaman penulis ketika bersekolah di Eropa. Penulis menemui budaya yang berbeda dengan tempat asalnya ini membuat penulis beranggapan budaya tradisional tak terlalu menguntungkan dan memajukan pada akhirnya diperlukan cara menyampaikan pemikirannya tersebut. Jadi, melalui novel ini pesan tersebut disampaikan kepada masyarakat kala itu. Sebuah taktik yang cerdas menurut saya, mengingat ketika masa penerbitan buku ini Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda dan ya sebagai penulis yang ingin “berontak” dari kungkungan adat Marah Rusli berhasil menyampaikannya dalam novel.

“Sebab itu,haruslah perempuan itu terpelajar, supaya jauh ia terjauh dari pada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan sepertinya. Tentu saja kepandaiannya itu dapat juga dipergunakannya untuk kejahatan. Itulah sebabnya perlu hati yang baik dan pikiran sempurna. Bila perempuan itu memang tidak baik tabiatnya atau sebab salah ajarannya, walaupun ia tak berkepandaian sekolah sekalipun dapat juga ia berbuat pekerjaan jahat. Tak ada perempuan jahat, pada bangsa yang masih bodoh?” (hal. 219)


“… memang demikianlah nasib kita perempuan. Adakah akan berubah peraturan kita ini? Adakah kita akan dihargai oleh laki-laki, kelak? Biar tak banyak, sekedar untuk yang perlu bagi kehidupan kita saja pun, cukuplah. Aku tiada hendak meminta, supaya disamakan benar-benar dengan laki-laki dalam segala hal;… tetapi permintaanku, hendaknya laki-laki itu memandang perempuan, sebagai adiknya, jika tak mau ia memuliakan dan menghormati perempuannya sebagai pada bangsa Eropa. Janganlah dipandangnya kita sebagai hamba atau suatu makhluk yang hina. Biarlah perempuan menuntut ilmu yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan mendengar segala yang boleh menambah pengetahuannya; biarlah ia boleh mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya, supaya dapat bertukar-tukar pikiran, untuk menajamkan otaknya.. “ (Ungkapan pikiran Nurbaya, hal. 222)

Novel ini memang bertema roman namun bila ditelisik lebih dalam Anda tidak hanya menemukan sensasi cinta dua anak manusia tetapi Anda akan bertemu dengan pertentangan antara budaya, peran gender dan hebatnya harta menguasai manusia. Marah Rusli juga mengkritisi budaya “pernikahan paksa” yang seringkali dialami wanita pada zamannya. Dalam novel ini pun tertuang banyak petuah tentang pernikahan, rumah tangga dan gambaran hidup berkeluarga dalam masyarakat Minang.

Setiap tokoh dalam novel ini sangat kuat mendeskripsikan kepribadian dan perilaku manusia di zaman yang dirasakan penulis. Tokoh Nurbaya yang cerdas namun terpaksa melakukan hal yang tak diinginkan sebab kelemahannya. Samsulbahri yang berpikiran dewasa namun tetap lemah jika dihadapkan pada perkara cinta. Datuk Meringgih yang sangat cinta harta, serakah dan curang demi menambah hartanya. Ketiga tokoh itu memang terkenal sebagai tokoh sentral dalam novel ini tetapi memang perlu membaca keseluruhan novel ini jika Anda ingin mengenal tokoh lainnya yang juga turut menjadi media penuang gagasan penulis. Ayah Sam, Paman Nurbaya dan tokoh lainnya bukan hanya menjadi “karakter pelengkap” tetapi juga menjadi karakter yang turut mengisi alur dalam kisah kasih ini.

Lalu, masihkah relevan jika kita menyebut “memangnya ini zaman Sitti Nurbaya” ketika kita menemukan kasus anak-anak gadis yang dijodohkan dengan orangtuanya? Sebab sesungguhnya Nurbaya memang tidak dijodohkan oleh ayahnya. Berarti telah ada kesalahan persepsi terhadap label “zaman sitti nurbaya” bagi mereka yang hidup di zaman sekarang lalu menikah sebab dijodohkan. Jadi, baiknya kita tak lagi melabeli mereka yang dijodohkan oleh orangtuanya sebagai “Sitti Nurbaya masa kini” karena itu memang kurang relevan.

Secara keseluruhan sebagai karya sastra Indonesia, novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli ini memang layak disebut sebagai masterpiece-nya sastra Indonesia. Sebuah kisah yang abadi, tetap dikenal hingga kini meskipun terbit jauh sebelum masa kemerdekaan. Romansa cinta Sitti Nurbaya dan Samsulbahri pun tetap dikenang, meskipun akhirnya ada mispersepsi tentang nasib cinta mereka. Lagi-lagi inilah yang memotivasi pencinta sastra untuk meluruskan dan mengenalkan kembali karya-karya sastra yang langka di masa kini.

Novel ini merupakan karya yang baik untuk menambah wawasan Anda tentang satu kultur yang menjadi bagian dari Indonesia dan memahami dilema akan hubungan antara laki-laki dan wanita di zaman sebelum kemerdekaan. Saya melihat keinginan Nurbaya tentang peran wanita telah menjadi kenyataan. Kini wanita boleh bersekolah setinggi laki-laki, berpendapat dan berkarya sesuai kompetensinya. Beruntunglah bagi wanita yang lahir bukan di zaman Nurbaya sebab tak perlu merasakan yang dirasakannya. Jika boleh saya ingin bertitip pesan pada Nurbaya maka saya ingin mengucapkan “Hai, Sitti Nurbaya keinginanmu terwujud sudah, kini wanita boleh bersekolah tinggi dan bekerja selayaknya laki-laki tanpa mengorbankan perannya yang paling penting menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya”. Mungkin ia akan tersenyum bahagia membaca pesan ini.

Rating 3 dari 5 bintang untuk kisah roman yang tak sampai. Rating 4 dari 5 bintang untuk pemikiran-pemikiran Marah Rusli yang berani “memberontak” dari budaya zaman.


Judul Buku: Pride and Prejudice
Penulis: Jane Austen
Penerbit: Qanita (edisi Bahasa Indonesia)  
Tahun Terbit: 2011 ( edisi Bahasa Indonesia)
Tebal: 588 halaman


Pride and Prejudice!! Siapa yang tak mengenal roman karya Jane Austen? Novel yang telah bertualang dari zaman kerajaan hingga zaman digital sekarang ini masih menjadi memanjakan pembacanya yang berusia jauh lebih muda dari novel itu sendiri. Terhitung sejak pertama kali diterbitkan tahun 1813 novel ini telah membawa kisah percintaan di abad 19 menembus waktu, dicetak dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Penghargaan sebagai 1001 buku yang harus dibaca sebelum anda mati sangat layak bagi karya Austen. Sekarang, izinkan saya berandai-andai jika tokoh utama wanita dalam novel tersebut menuturkan kisah tentang diri dan hidupnya sendiri.

Ini tentang kisahku, Aku Elizabeth Bennet, putri kedua dari lima bersaudara gadis-gadis Bennet. Keluargaku di rumah biasanya memanggilku dengan sebutan Lizzy, ya kependekan dari namaku. Aku tinggal bersama ayah, ibu dan saudari-saudari perempuanku di Loungbourn, Inggris dan perlu diketahui aku tercipta di akhir tahun 1900 jadi jika dihitung usiaku sudah lebih dari seratus tahun sampai hari ini. Namun, karena kisahku dituangkan oleh Miss Jane Austen ke dalam sebuah novel maka disitulah waktu terhenti, mengabadikan semua hal dalam hidupku.


Cerita kami bermula dari kehadiran seorang pemuda ke Netherfield yang langsung menjadi popular karena kehormatannya. Berbondong-bondong gadis-gadis pun bahagia karena ada undangan pesta di kediamannya. Aku, Jane dan adik-adikku pun hadir dalam pesta tersebut. Malam pesta itu membawaku mengenal Darcy, teman Bingley yang angkuh dan sangat tidak aku suka. Sejujurnya pun, pertemuan itu hanya menumbuhkan bibit kebencian padanya. 

"Dia lumayan, tapi tidak cukup cantik untuk membuatku terpikat; aku sedang malas beramah tamah dengan gadis-gadis yang tidak diminati pria lain…" (ucapan Darcy, hal. 20)

Ucapannya terdengar olehku dan itu membuatku tidak menyukai Darcy. Terlebih lagi ternyata aku lebih sering bertemu lagi dengannya. Di setiap kali kesempatan bertemu, kami selalu memiliki topik untuk berdebat dan menunjukkan ketidaksukaan satu sama lain. Entah mengapa sepertinya pembicaraan Darcy yang arogan dan meremehkan memicu emosiku. Sebaliknya, di dalam pikiran Darcy tak tumbuh sedikit pun kebencian justru sebaliknya kekaguman dan rasa penasarannya atas diriku yang berbeda ini.

"Kalau begitu," kataku, "standar kalian tentang wanita berbakat pasti sangat tinggi."
“Dia harus memiliki semua itu,” Darcy menambahkan, “ditambah sesuatu yang lebih penting, yaitu pikiran yang kaya karena gemar membaca.” (perdebatanku dengan Darcy, hal. 62)

Kasus cinta Jane dan Bingley yang hampir menuju pernikahan digantung penuh oleh Bingley sendiri. Harapan menikah dengan Bingley pupus sudah tetapi Jane yang memang terlalu baik berusaha berdamai. Lalu, kedatangan Collins yang dalam waktu singkat melamarku sangat mengagetkan. Jelas sudah aku menolaknya, tak terbesit sedikit pun untuk menikah dengannya hingga penolakan ini sampai membuat Ibuku pusing. Akan tetapi, Ayahku yang selalu sayang kepadaku mendukung penuh keputusanku. Lalu, kehadiran tentara di Meryton yang cukup menghiburku dan dua adikku yang aneh Kitty dan Lydia, sebab mereka begitu genit dengan para tentara.

Berlanjut ke kisahku dengan Darcy, sekian lama pertemuan di Rosings tiba-tiba ketika kami hanya berdua Darcy mengungkapkan isi hatinya yang membuatku kaget setengah mati.

Sia-sia saja aku berusaha. Ini tidak akan berhasil. Aku tidak sanggup lagi menahan perasaanku. Izinkanlah aku mengatakan kepadamu betapa aku mengagumi dan mencintaimu.” (pengakuan Darcy, hal. 288)

Pengakuan Darcy yang blak-blakan mengenai perasaannya padaku merupakan hal yang tak pernah kusangka. Selama ini Ayah dan ibuku tahu betapa kami tidak cocok bahkan aku sendiri pun tak pernah melihat gelagatnya yang tertarik padaku. Aneh memang, ah baiknya kalian membaca sendiri kelanjutan kisahku ini karena terlalu panjang jika kutuliskan semuanya disini. Aku yakin kalian ingin tahu bagaimana kelanjutan kisah keluargaku, Jane-Bingley, Kitty, Lydia dan tentunya Aku-Darcy.


***
Penampilan fisik karya Austen dalam edisi Bahasa Indonesia ini cukup menarik dengan sampul depan dua orang berhadapan yang menggambarkan dua tokoh sentral dalam cerita ini. Terlebih dengan label “salah satu roman terpopuler sepanjang masa” di bawah nama penulis dan judulnya membuat karya Austen ini sangatlah “menjual”. Menurut saya, penerbit cukup sukses menampilkan Pride and Prejudice dengan menarik.

Sudut pandang penulis sebagai orang ketiga mengiringi alur maju dari kisah Elizabeth dan keluarganya. Penulis bebas keluar masuk ke dalam jiwa tiap karakter yang diciptakannya. Sewaktu-waktu menceritakan kehidupan anggota keluarga Bennet dengan detail lalu menceritakan diskusi Elizabeth dengan sahabatnya mengenai pernikahan. 

“… dengan sepenuh hati aku mengharapkan Jane beruntung, dan seandainya mereka hendak menikah besok, kuharap dia akan mendapatkan kesempatan kebahagiaan yang sama seperti jika dia telah mempelajari sifat Bingley selama setahun. Kebahagiaan dalam pernikahan hanyalah masalah nasib. Kalaupun kedua belah pihak sudah saling mengetahui sifat masing-masing atau bahkan memiliki sifat yang sama sebelumnya, itu tidak menjamin merekan akan berbahagia selamanya. Perbedaan akan selalu tumbuh di antara mereka setelah mereka menikah, sehingga akan lebih baik jika kita lebih sedikit mengetahui tentang calon pasangan hidup kita.”

“Kau membuatku tertawa, Charlotte, tapi itu salah. Kau tahu itu salah dan kau sendiri tidak akan berbuat begitu, kan?" (dialog Elizabeth dengan Charlotte, hal. 37)

Kenapa tiba-tiba saya merasa membaca buku tips awet berumahtangga? Baiklah, pernikahan memang menjadi topik utama dalam novel ini. Bahkan sejak awal bab terdapat kalimat pembuka “sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang pemuda kaya tentu ingin mencari istri”. Austen memang membahas isu pernikahan dizamannya. Ketika perbedaan strata sosial didasarkan kepada kekayaan sehingga sangat tidak mudah bagi orang-orang tanpa kekayaan yang cukup banyak untuk dianggap terhormat maka jangan harap akan terjadi pernikahan antara dua orang dengan status yang berbeda. Seakan menyindir kehidupan bangsawan yang berpesta untuk bertemu banyak wanita cantik dan membanggakan kehormatan yang begitu tinggi lalu memilih diantar mereka siapa yang pantas dinikahi. Tak hanya itu, Austen juga berani menciptakan Elizabeth sebagai karakter yang mandiri, tegas dan bebas menentukan hidupnya sendiri. Hal ini agak berbeda dengan wanita umumnya di zaman itu yang hanya pasif dan rela menerima kenyataan seperti apa hidupnya di masa depan.

Perkara putri-putrinya yang belum menikah padahal sudah cukup usia untuk menikah menjadi konflik bagi Nyonya Bennet. Mengingat zaman itu wanita hanya menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar dengan mengurus suami dan keluarganya. Lantas, mengapa harus menunggu lama untuk menikahkan anak gadisnya? Toh wanita kala itu tak dituntut untuk bersekolah setinggi kaum lelaki. Sayangnya, tidak mudah juga memilihkan lelaki baik dan cukup kaya untuk Bennet bersaudara. Sebab itulah, Nyonya Bennet bercita-cita untuk menikahkan semua anak gadisnya.

Hal ini membuat saya menerawang ke masa lalu, di Inggris saja pernah mengalami masa ketika wanita yang baik ya cukup menjadi istri dan mengurus rumah tangganya saja, tak perlulah bekerja di luar rumah. Wow, saya agak terkesan dengan kultur di Inggris yang seperti ini di abad 19-an dan bila dibandingkan dengan saat ini tentulah jomplang jauh sekali. Membaca karya Austen menjadi seperti membaca buku sejarah hidup wanita abad 19 yang masih “aman” dengan dua perannya, istri dan ibu.
Konflik antar tokoh seperti Lizzy dan Darcy, Tuan dan Nyonya Bennet serta konflik internal tokoh-tokoh itu sendiri membuat cerita ini benar-benar terasa nyata, manusiawi dan tidak berlebihan. Saya suka narasi ketika Lizzy dan Darcy bertemu lalu memulai lagi dialog-debat mereka. Hubungan cinta-benci yang terjadi di antara keduanya membuat saya seakan menonton drama cinta-cintaan remaja yang baru kenalan dengan ‘rasa di hati berbeda’ itu. Austen pandai mengantarkan pembaca terjun ke dalam isi hati dan pikiran para tokohnya. Saya tenggelam dalam cerita Jane-Bingley yang penuh kerikil dan juga dalam surat-surat panjang antar tokoh. Tak terbayangkan jika hanya dengan suratlah kita bisa berkomunikasi, tak ada telepon, sms apalagi instant messenger seperti saat ini.

Tak hanya love-hate relationship antara Darcy-Lizzy namun ada konflik antara teman juga. Ya tokoh Wickham yang muncul sebagai orang baik di mata Lizzy ternyata menyimpan rahasia lain. Rahasia yang akhirnya terkuak dan seketika membuat Lizzy kaget akan mispersepsinya selama ini. Sayangnya, Wickham juga menjadi pemicu konflik berikutnya bagi keluarga Bennet. Hal inilah yang ternyata membuka pikiran Lizzy tentang karakter dan kepribadian orang tak hanya bisa ditebak begitu saja.

Novel ini masuk dalam daftar 1001 buku yang harus dibaca sebelum mati. Sehingga saya pun tertantang membaca kisah roman klasik ini. Novel terjemahan edisi Indonesia cukup baik akan tetapi memang tidak biasa menggunakan sapaan Mr. Miss dan Mrs agak terasa janggal bagi saya. Menurut saya, penggunaan istilah asli Indonesia Tuan, Nona dan Nyonya tidak terlalu buruk setidaknya akan lebih enak dipandang mata dan pikiran ketika dibaca. Perlu disadari juga bagi pembaca jangan mengharapkan tata bahasa dan diksi yang ringan dalam novel ini karena penggunaan bahasa baku dan sopan memenuhi setiap paragrapnya, membuatnya cenderung agak berat meskipun alurnya ringan dan tidak mudah ditebak.

Jika anda seorang yang ingin melihat Inggris di masa lampaunya, ketika masih banyak hutan dan rumah-rumah megah dengan tokoh wanita yang pandai berdansa dan bermain piano maka novel ini sangat saya sarankan untuk dibaca. Austen juga membawakan nilai kekuatan akan kemandirian seorang wanita yang tak hanya mampu menyayangi keluarga tetapi juga membela dan melindungi keluarganya melalui tokoh utama Elizabeth. Tentunya perihal makna ‘pride’ dan ‘prejudice’ dalam sifat manusia yang memang seringkali membutakan manusia itu sendiri mengingatkan perlunya kita belajar memahami dengan cara yang berbeda. Sangat mengesankan mampu menyelesaikan satu dari 1001 buku ini. Oleh sebab itu, saya berani memberikan lima bintang untuk Pride and Prejudice.

‘But if a woman is partial to a man, and does not endeavor to conceal it, he must find it out.’ (Elizabeth Bennet)