Pain (with another analogy)

10:48


Nyeri alias lebih dikenal dengan rasa sakit mesti setiap manusia hidup pernah merasakannya. Bohong dan abnormal jika tidak mengakuinya. Kelahiran manusia di dunia pun disebabkan nyeri hebat saat rahim ibu berkontraksi. Ya, nyeri telah menyertai kita sejak kita terlahir ke dunia. 

Saya ingin sedikit bercerita tentang rasa sakit, nyeri. Baik rasa sakit yang terasa di fisik ataupun di jiwa kita. Dalam mata kuliah kebutuhan dasar manusia yang dulu saya pelajari saat kuliah, nyeri masuk satu bab sendiri dalam buku teks. Wew, betapa berpengaruhnya nyeri dalam hidup manusia ternyata yah. Memang benar adanya, nyeri menjadi sinyal bahwa ada yang kurang beres dengan tubuh kita, misalnya kita merasa sakit perut, kemungkinan di saluran pencernaan kita ada sesuatu yang membuat sakit dan itu menjadi sinyal bagi kita untuk mencari pertolongan agar nyeri yang terasa bisa hilang. Pun sama halnya ketika kita mengalami sesuatu hal yang menyakitkan hati, mematahkan hati, nyeri diterima oleh reseptor nyeri diproses oleh pusat nyeri di thalamus *sumpah saya review lagi faal nyeri loh! :p* lalu disebar ke korteks untuk diinterpretasi, ada juga yang ke sistem limbik (pusat emosi) yang bikin kita menangis saat merasa sakit. 

Pernahkah terbayang mengapa kita menangis saat merasa sakit? Ya karena itu semua diputuskan oleh si sistem limbik, saya kutip dari web medical “feelings are associated with every sensation you encounter and each feelings generates a response”. Well, perasaan berhubungan dengan setiap sensasi yang kamu hadapi dan setiap perasaaan menghasilkan respon, ah membaca ini malah sedikit memaknainya dengan berbeda #salahfokus ah, sudahlah. Jadi ya, di otak kita sudah ada perpustakaan nyeri, isinya semua nyeri yang pernah kita rasakan sejak kita menjadi manusia. Nanti tinggal dipilah-pilih yang mana yang cocok lalu respon apa yang keluar untuk memaknai rasa nyeri ini.

Tetiba saya berpikir, kenapa Allah berikan manusia saraf sensorik nyeri sih? Nyeri itu sakit dan gak enak, kenapa dikasih kenapa kita tidak dibiarkan saja “numb”, tak mampu merasa nyeri, kebal? Lagi-lagi ini sebenernya ya curhat saya juga sih yang rasa-rasanya kok lebih sering merasa “sakit” daripada “tidak sakit”?? saya gak suka sakit sebab ia sering membuat air mata tertetes. Seketika juga saya langsung terpikir akan nyeri fisik seperti patah tulang terbuka di tubuh, kulit yang terbakar panas. Seperti apakah jika kita tak mampu merasakan nyeri dari patah tulang ataupun luka bakar itu? Tentu saya sudah punya jawabannya, pertahanan hidup manusia ya.. terbayangkah jika kita terkena panas api lalu kita diam saja tak menghindari penyebab luka bakar itu? Terus menerus seperti membiarkan tubuh terluka, maka tentulah akan membahayakan nyawa kita *sudah tak perlu jelasin patoflow luka bakar juga kali shiv, haha* dan lagi patah tulang yang membuat pembuluh darah terkoyak, menyebabkan kehilangan cairan juga bahaya bagi nyawa kita. Nah, itulah yang membuat adanya rasa nyeri, saraf sensorik nyeri dan juga pusat nyeri di otak. Agar manusia menyayangi hidupnya lebih baik, menjaga dirinya lebih aman dan ya itu mekanisme pertahanan hidup alami yang akhirnya membentuk perilaku melindungi diri. Hebat kan hanya perkara nyeri saja loh ini, sesuatu yang tak terlalu dipikirkan banyak orang. 

Baiklah, itu penjelasan mengenai nyeri.. ya, nyeri di jiwa maupun di fisik. Ini hanya cerita untuk refleksi pribadi saya saja sih, perkara “nyeri di hati”. Nyeri yang kadang tak bisa dimengerti, tak mampu terjelaskan oleh teori apapun, nyeri yang antara nyata dan maya, nyeri yang lebih sering menstimulasi lakrimalis bekerja lebih sibuk dari biasanya, nyeri yang membuat inflamasi mata karena kerja lakrimalis, oh oh,, sudah sudah sekian saja ungkapan hati saya. Well, semoga memberi pemahaman baru akan nyeri yang kita semua sudah simpan dalam “perpustakaan nyeri pribadi”. 
1 comment on "Pain (with another analogy)"

Hi! Thanks for reading! Please give your comment here..

Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus ya